Tuesday, May 10, 2016

INDUSTRI AGRIBISNIS KERAJINAN ROTAN

A.  Latar Belakang
Rotan adalah sekelompok palma dari puak (tribus) Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus. Puak Calameae sendiri terdiri dari sekitar enam ratus anggota, dengan daerah persebaran di bagian tropis Afrika, Asia dan Australasia.
Ke dalam puak ini termasuk pula marga Salacca ( misalnya salak), Metroxylon (misalnya rumbia/sagu), serta Pigafetta yang tidak memanjat, dan secara tradisional tidak digolongkan sebagai rotan.
Jika dilihat dari seni terapan, ternyata kerajinan rotan sendiri merupakan bagian dari suatu seni yang sudah ada di Indonesia sejak lama. Dari segi ketahanan, rotan memiliki ketahanan yang cukup lama, sehihngga dapat dijadikan sebuah kerajinan yang mampu bersaing di pasar domestik dan internasional.
Sebagian besar rotan berasal dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia. Sisa pasar diisi dari Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh.Rotan cepat tumbuh dan relatif mudah dipanen serta ditransprotasi. Ini dianggap membantu menjaga kelestarian hutan, kaerna orang lebih suka memanen rotan daripada kayu.
Rotan jenis manau dan sago cukup banyak dihasilkan di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Namun, rotan mentah itu banyak dibeli perajin rotan Sumbar untuk diolah yang akhirnya dibeli lagi oleh perajin Riau.Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang dapat mendorong pengembangan industri mebel/kerajinan nasional sehingga industri ini dapat berkembang yang akhirnya dapat menyerap semua produk bahan baku rotan Indonesia.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa saja permasalahan pengrajin?
2.    Pengembangan sistem agribisnis kerajinan rotan?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui permasalahan pengrajin rotan.
2.    Mengetahui bagaimana pengembangan sistem agribisnis kerajinan rotan.


 A.  Permasalahan Pengrajin Rotan
Tantangan utama yang dihadapi oleh industri rotan nasional saat ini adalah  kecenderungan penurunan daya saing industri di pasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan serta belum memadainya layanan birokrasi.
Tantangan berikutnya adalah kelemahan struktural sektor industri rotan itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang rotan setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu.
Sementara itu, tingkat utilisasi kapasitas produksi industri masih rata-rata di bawah 70 persen, dan ditambah dengan masih tingginya impor bahan baku, maka kemampuan sektor industri dalam upaya penyerapan tenaga kerja masih terbatas.  Di sisi lain, industri kecil dan menengah (IKM) yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih memiliki berbagai keterbatasan yang masih belum dapat diatasi dengan tuntas sampai saat ini.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh IKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan, keterbatasan sumber daya manusia yang siap, kurang dalam kemampuan manajemen dan agribisnis, serta terbatasnya kemampuan akses informasi untuk membaca peluang pasar serta mensiasati perubahan pasar yang cepat.
Ketergantungan bahan baku rotan juga dikeluhkan oleh Pengrajin, yang juga perajin rotan di Pekanbaru. Menurut para pengrajin, ketergantungan itu mengakibatkan perajin Riau harus membeli bahan baku dengan harga yang lebih mahal. Karena itu, pengrajin rotan pekanbaru berharap pemerintah daerah di Riau bisa membangun sentra kerajinan rotan di Pekanbaru yang menyediakan mesin-mesin pengolahan rotan. Dengan begitu, perajin di daerah itu bisa mendapatkan nilai lebih dari potensi rotan yang ada.
Dalam rangka lebih menyebarkan industri kerajinan rotan di Provinsi Riau, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, maka investasi di Riau masih kurang menarik bagi investor karena terbatasnya kapasitas infrastruktur ekonomi, terbatasnya sumber daya manusia, minimnya bahan baku, serta mahalnya bahan baku yang didapat dari luar provinsi Riau, serta kecilnya jumlah penduduk sebagai basis tenaga kerja dan sekaligus sebagai pasar produk.
B.  Pengembangan Agribisnis Kerajinan Rotan
Upaya pengembangan agribisnis dalam industri kerajinan rotan tentu saja harus di sejalan dengan minat pasar dan bahan baku lokal yang berkualitas. Dalam hal ini salah satu faktor yang dianggap sebagai penghambat pertumbuhan industri rotan adalah semakin maraknya alih fungsi lahan. Rotan yang pada dasarnya merupakan hasil hutan secara alami akan semakin terus berkurang dan tergerus seiring dengan pembukaan hutan, baik untuk pertanian maupun perumahan.
Hal ini sangat jelas terlihat dari kebijakan alih fungsi hutan sebagai habitat rotan sebagai perkebunan yang dianggap lebih mendatangkan keuntungan seperti karet dan kelapa sawit. Faktor yang juga kemudian menjadi determinan dalam pengambilan kebijakan perdagangan rotan adalah tidak adanya sinergitas antara industri hulu (industri bahan baku) dan hilir (industri barang jadi).
Penting juga menggaris bawahi bahwa posisi rotan ternyata dianggap tidak cukup signifikan jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Padahal, jika kita melihat pangsa pasar, domestik dan non domestik ternyata masih banyak yang meminati kerajinan dari industri rotan di tanah air. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah turut melirik industri UKM untuk memberi kesempatan dalam pengembangan industri kerajinan rotan baik dari sektor hulu sebagai penyuplai bahan baku hingga industri hulu yang memfasilitasi dalam upaya pemasaran kerajinan dari rotan.
Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi :
1)   Penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi;
2)   Pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia
3)   Pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM)
Pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Facebook

Powered by Blogger.

Ads Top

Popular

Definition List

Contact

Pages

Support