A. Latar Belakang
Rotan adalah sekelompok
palma dari puak (tribus) Calameae yang memiliki habitus memanjat,
terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus. Puak Calameae
sendiri terdiri dari sekitar enam ratus anggota, dengan daerah persebaran di
bagian tropis Afrika, Asia dan Australasia.
Ke dalam puak ini termasuk pula
marga Salacca ( misalnya salak), Metroxylon (misalnya rumbia/sagu), serta
Pigafetta yang tidak memanjat, dan secara tradisional tidak digolongkan sebagai
rotan.
Jika dilihat dari seni
terapan, ternyata kerajinan rotan sendiri merupakan bagian dari suatu seni yang
sudah ada di Indonesia sejak lama. Dari segi ketahanan, rotan memiliki
ketahanan yang cukup lama, sehihngga dapat dijadikan sebuah kerajinan yang
mampu bersaing di pasar domestik dan internasional.
Sebagian besar rotan berasal
dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia. Sisa pasar diisi dari
Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh.Rotan cepat tumbuh dan relatif
mudah dipanen serta ditransprotasi. Ini dianggap membantu menjaga kelestarian
hutan, kaerna orang lebih suka memanen rotan daripada kayu.
Rotan jenis manau dan
sago cukup banyak dihasilkan di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Namun, rotan mentah
itu banyak dibeli perajin rotan Sumbar untuk diolah yang akhirnya dibeli lagi
oleh perajin Riau.Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang dapat mendorong
pengembangan industri mebel/kerajinan nasional sehingga industri ini dapat
berkembang yang akhirnya dapat menyerap semua produk bahan baku rotan
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
saja permasalahan pengrajin?
2. Pengembangan
sistem agribisnis kerajinan rotan?
C. Tujuan
1. Mengetahui
permasalahan pengrajin rotan.
2. Mengetahui
bagaimana pengembangan sistem agribisnis kerajinan rotan.
A. Permasalahan Pengrajin Rotan
Tantangan utama yang
dihadapi oleh industri rotan nasional saat ini adalah kecenderungan penurunan daya saing industri
di pasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya
energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan serta belum memadainya layanan
birokrasi.
Tantangan berikutnya
adalah kelemahan struktural sektor industri rotan itu sendiri, seperti masih
lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun
antara industri besar dengan industri kecil menengah, belum terbangunnya
struktur klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya
keterbatasan berproduksi barang rotan setengah jadi dan komponen di dalam
negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan
ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi
tertentu.
Sementara itu, tingkat
utilisasi kapasitas produksi industri masih rata-rata di bawah 70 persen, dan
ditambah dengan masih tingginya impor bahan baku, maka kemampuan sektor
industri dalam upaya penyerapan tenaga kerja masih terbatas. Di sisi lain, industri kecil dan menengah
(IKM) yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih
memiliki berbagai keterbatasan yang masih belum dapat diatasi dengan tuntas
sampai saat ini.
Permasalahan utama yang
dihadapi oleh IKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan, keterbatasan
sumber daya manusia yang siap, kurang dalam kemampuan manajemen dan agribisnis,
serta terbatasnya kemampuan akses informasi untuk membaca peluang pasar serta
mensiasati perubahan pasar yang cepat.
Ketergantungan bahan
baku rotan juga dikeluhkan oleh Pengrajin, yang juga perajin rotan di
Pekanbaru. Menurut para pengrajin, ketergantungan itu mengakibatkan perajin
Riau harus membeli bahan baku dengan harga yang lebih mahal. Karena itu, pengrajin
rotan pekanbaru berharap pemerintah daerah di Riau bisa membangun sentra
kerajinan rotan di Pekanbaru yang menyediakan mesin-mesin pengolahan rotan.
Dengan begitu, perajin di daerah itu bisa mendapatkan nilai lebih dari potensi
rotan yang ada.
Dalam
rangka lebih menyebarkan industri kerajinan rotan di Provinsi Riau, untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, maka investasi di Riau masih kurang
menarik bagi investor karena terbatasnya kapasitas infrastruktur ekonomi,
terbatasnya sumber daya manusia, minimnya bahan baku, serta mahalnya bahan baku
yang didapat dari luar provinsi Riau, serta kecilnya jumlah penduduk sebagai
basis tenaga kerja dan sekaligus sebagai pasar produk.
B. Pengembangan Agribisnis Kerajinan
Rotan
Upaya pengembangan
agribisnis dalam industri kerajinan rotan tentu saja harus di sejalan dengan
minat pasar dan bahan baku lokal yang berkualitas. Dalam hal ini salah satu
faktor yang dianggap sebagai penghambat pertumbuhan industri rotan adalah
semakin maraknya alih fungsi lahan. Rotan yang pada dasarnya merupakan hasil
hutan secara alami akan semakin terus berkurang dan tergerus seiring dengan
pembukaan hutan, baik untuk pertanian maupun perumahan.
Hal ini sangat jelas
terlihat dari kebijakan alih fungsi hutan sebagai habitat rotan sebagai
perkebunan yang dianggap lebih mendatangkan keuntungan seperti karet dan kelapa
sawit. Faktor yang juga kemudian menjadi determinan dalam pengambilan kebijakan
perdagangan rotan adalah tidak adanya sinergitas antara industri hulu (industri
bahan baku) dan hilir (industri barang jadi).
Penting juga menggaris
bawahi bahwa posisi rotan ternyata dianggap tidak cukup signifikan jika dibandingkan
dengan komoditas lainnya. Padahal, jika kita melihat pangsa pasar, domestik dan
non domestik ternyata masih banyak yang meminati kerajinan dari industri rotan
di tanah air. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah turut melirik industri UKM
untuk memberi kesempatan dalam pengembangan industri kerajinan rotan baik dari sektor
hulu sebagai penyuplai bahan baku hingga industri hulu yang memfasilitasi dalam
upaya pemasaran kerajinan dari rotan.
Pemberdayaan usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis
dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian
terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan
mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian upaya
untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada
tataran makro, meso dan mikro yang meliputi :
1) Penciptaan
iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta
menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi;
2) Pengembangan
sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya
produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi
sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia
3) Pengembangan
kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM)
Pemberdayaan usaha
skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam
kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama
yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi
untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun
efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
0 comments:
Post a Comment